![$rows[judul]](https://banyuwangiupdate.id/asset/foto_berita/WhatsApp_Image_2024-03-18_at_13_14_39_(1).jpeg)
Semua berawal dari seorang pemuda bernama Sundarianto. Warga
Desa Siliragung, Kecamatan Siliragung, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, ini
senang memancing dan menjala ikan di sungai bersama sejumlah teman. Hasilnya
mengecewakan. Mereka hanya menjaring sampah.
Kekecewaan ini memantik semangat dan kepedulian. Sundarianto
dan kawan-kawan mulai berpikir untuk mengolah sampah-sampah di sungai tersebut.
Mereka membentuk Komunitas Pemuda Etan Gladak Anyar (PEGA) Indonesia. Nama
komunitas ibu didasarkan pada lokasi mereka biasa berkumpul dan memancing,
yakni di sisi timur jembatan baru.
Baca Juga :
Mereka tidak memikirkan keuntungan apapun dari pengolahan
sampah tersebut dan hanya melakukannya sambil belajar. "Tujuan sosial kami
untuk mengolah sampah. Kalau bukan kita siapa lagi," kata Sundarianto.
Tujuan profit semakin jauh, karena berdasarkan sejumlah orang, keuntungan dari
pengolahan sampah menjadi kompos sangat sedikit.
Belakangan, ada yang menyarankan pemakaian larva lalat
tentara hitam (maggot) untuk mengurai sampah organik. Sundarianto tertarik dan
mulai mempelajari secara otodidak segala sesuatu mengenai maggot ini. Internet
menyediakan semua informasi yang dibutuhkan.
Namun memulai pengolahan sampah organik dengan maggot tak
murah. Tahun 2017, harga bibit magot mencapai Rp 30 ribu per gram.
"Kelompok kami tidak mampu. Maka kami memancing lalat dari alam dan
mengumpulkannya untuk dibudidayakan," kata Sundarianto. Mereka baru
membudidayakan maggot BSF pada 2018.
Keterlibatan PT Bumi Suksesindo, perusahaan tambang emas
yang beroperasi di Tumpang Pitu, agak unik. Tak punya cukup modal untuk
mengembangkan upaya pengolahan sampah, Sundariyanto dan kawan-kawan menghadang
truk operasional logistik perusahaan yang biasa melintasi desa. Mereka tidak
menuntut tebusan layaknya penculik. Mereka hanya mendesak PT BSI membantu
pengolahan sampah.
PT BSI terkesan dengan tekad anak-anak muda yang dipimpin
Sundarianto. Bukannya merepresi gerakan anak-anak muda ini, perusahaan justru
sepakat membantu PEGA Indonesia pada 2018. "Kami memberikan fasilitas
tempat atau kandang untuk produksi maggot," kata Bahtiar Majid dari
Community Empowerment PT BSI.
BSI juga memberikan kendaraan untuk mengangkut sampah dari
rumah-rumah dan warung-warung. Perusahaan memfasilitasi dan memberikan
akomodasi pelatihan-pelatihan di sejumlah kawasan, seperti di kota dan
kampus.
Setiap bulan diadakan pertemuan antara PT BSI dan PEGA
Indonesia untuk mengurai persoalan dan mencari solusi, termasuk soal kendala
produksi seperti kurangnya pakan dan sampah. "Kami ingin budidaya maggot
ini berkembang," kata Bahtiar.
Setiap pekan, Sundarianto dan kawan-kawan mengolah kurang
lebih tiga ton sampah organik. Mereka rata-rata memproduksi satu kuintal maggot
fresh per minggu. "Kalau kebanyakan sampah limbah dapur, hasilnya pupuk
padat," kata Sundarianto.
Ada lima produk yang bisa diperoleh dari pengolahan sampah
organik ini, yakni maggot fresh untuk pakan ikan dan unggas, maggot kering
untuk pakan hewan hias, pupuk padat untuk tanaman, pupuk cair untuk dekomposer
dan mengurangi amoniak lingkungan, dan insektisida organik untuk mengusir hama
tanaman. Semuanya berbahan baku sampah yang berasal dari PT BSI dan warga
sekitar.
Saat ini pasar yang disasar baru lokal Siliragung dan
sekitarnya. Mereka belum berminat untuk melebarkan sayap ke luar wilayah.
"Alhamdulillah, kami sampai kekurangan produksi persediaan untuk memenuhi
kebutuhan lingkungan sendiri," kata Sundarianto. Dari sini PEGA Indonesia
bisa menghidupi kelompok secara mandiri.
PEGA sempat kesulitan bahan baku pada medio 2018-2020.
Masalah bahan baku mulai teratasi setelah Sundarianto lebih massif mengambil
sampah rumah tangga. Mereka menukar tempat sampah warga yang berisi sampah
organik setiap kali mengepulnya, sehingga rumah warga senantiasa bersih.
"Teman-teman belum berani ambil sampah ke perumahan,
produksi pun minim. Kami mengadakan pertemuan, mencoba mencari solusi.
Bagaimana kalau kita jemput bola datang ke perumahan, menawarkan jasa
pengangkutan sampah dan mendatangi warung-warung untuk menawarkan pemungutan
sampah," kata Bahtiar.
Saat ini ada seratus keluarga yang menyalurkan sampah kepada
PEGA, dari semula hanya 15 keluarga. Selain itu PEGA juga mengambil limbah
pertanian berupa buah semangka dan buah naga yang rusak saat dipanen. Namun
mereka masih belum maksimal dalam mengolah sampah. Rumah pengolahan PEGA yang
difasilitasi BSI bisa mengolah dua ton sampah per hari. Namun mereka baru
mendapatkan tiga ton sampah per pekan.
"Kami akhirnya ,mengurangi produksi dan lebih banyak
memproduksi telur daripada maggot fresh. Jadi kalau sudah dewasa, maggot tidak
dikasih makan, lalu akan menjadi lalat dan menghasilkan telur. Telurnya untuk
siklus lagi dan kami jual. Kemarin kami menyuplai per hari 1 ons untuk membantu
budidaya maggot dalam skala bisnis. Kami jual Rp 2,.500 per gram," kata
Sundarianto.
Kendati bermanfaat untuk lingkungan, pusat pengolahan sampah
organik ini sempat memicu protes warga sekitar pada 2020. Apalagi kalau bukan
karena bau. Sundarianto ingat benar bagaimana puluhan warga kampung sebelah
mendatanginya. "Kami disuruh pindah dari tempat ini," katanya.
Sundarianto pun berusaha meyakinkan warga bahwa akan
berupaya keras untuk meminimalisasi bau yang muncul. Ia memperkenalkan kepada
warga soal pengolahan sampah yang ramah lingkungan. "Kalau sampai rumah
masih bau, monggo datang lagi. Alhamdulillah, sampai rumah, warga tidak
komplain lagi karena bau sudah teratasi," katanya.
Demo tidak sekali terjadi. Pertengahan 2021, warga juga
berunjuk rasa. Namun semua bisa diselesaikan dengan dialog. "Kami berusaha
meyakinkan warga. Pengolahan sampah di sini beda dengan di tempat pembuangan
sampah. Bau berasal dari sampah organik, dan ini kami mengolahnya," kata
Bahtiar.
PT BSI dan PEGA sigap merespons protes warga yang mayoritas
belum teredukasi soal pengolahan maggot. "Kami ada treatment khusus ketika
ada bau. Bau tidak sampai berhari-hari seperti kalau sampah menumpuk di
jalan," kata Bahtiar.
Kerja keras Sundarianto dan kawan-kawan rupanya menarik perhatian luar negeri. Pemerintah Norwegia dan lembaga swadaya masyarakat yang memiliki program Clean Ocean Through Clean Communities (CLOCC). Sundarianto menduga InSWA memperoleh informasi tentang kiprah PEGA dari media sosial. Ia kemudian diundang untuk menghadiri pertemuan di pusat kota Banyuwangi.
Februari 2023, mereka menandatangani kontrak perjanjian
kerja sama dengan Indonesia Solid Waste Association (INsWA) dan CLOCC. PEGA
diangkat menjadi konsultan lokal untuk mendampingi pengolahan sampah di 14 desa
dan satu kelurahan di Banyuwangi hingga Februari 2024, antara lain Kebondalem,
Tamansari, Genteng Kulon, Genteng Wetan, Glagah, dan Setail.
Belakangan, PEGA juga mendapat tawaran untuk melatih pengolahan sampah di Australia pada Mei 2023. Semula bimbingan dilakukan via media sosial. Namun warga Australia meminta perwakilan PEGA datang dan membimbing langsung.
Sukses pengolahan sampah oleh PEGA ini membuat PT BSI ingin
mengembangkan pengolahan sampah ini lebih luas. Bahtiar mengatakan, pihaknya
telah memfasilitasi pelatihan dengan Pemerintah Desa Pesanggaran, pelatihan
dengan PKK, badan usaha milik desa, dan pemuda, pada November 2023.
"Teman-teman kami dampingi agar berkembang sebesar ini.
Jadi benar-benar kontinu berproduksi, tak sampai putus, karena ini kaitan
dengan sampah. Kadang kalau berhubungan dengan sampah, komitmen harus kuat dari
kelompok. Kalau komitmen bagus dan produksi bagus, kita bikin pengembangan
bekerja sama dengan desa. Desa menyediakan lahan, kami memfasilitasi tempat
kandang maggot," kata Bahtiar.
PT BSI berniat mengembangkan pengolahan sampah organik ini
di Pesanggaran. "Berdasarkan evaluasi, sampah juga bagus, karena di pasar,
sampah banyak, di warung makan, sampah banyak," kata Bahtiar.
Direktur PT BSI Riyadi Effendi menegaskan kembali komitmen
untuk memastikan kehadiran perusahaan dan kegiatannya bisa bermanfaat bagi
masyarakat sekitar dan seluruh pemangku kepentingan. "Ini wujud Pasal 33
UU 45 semua kegiatan pertambangan untuk kemaslahatan dan kepentingan masyarakat,"
katanya.
Melalui program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat
(PPM), PT BSI berhasil mewujudkan banyak hal. "Kami mengembangkan binaan
PT BSI yaitu peternakan maggot untuk pakan ternak berkualitas tinggi,
memanfaatkan limbah organik yang ada di PT BSI," kata Riyadi.